Gerak seni tari klasik Yogyakarta.

 

                          

TARI KLASIK GAYA YOGYAKARTA



1.      Sejarah
Tari klasik gaya Yogyakarta yang disebut juga Joget Mataram merupakan warisan dari kesenian tari pada zaman Majapahit. Joget Mataram ini dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I semenjak Perjanjian Giyanti, dan dikembangkan oleh guru tari istana Yogyakarta samapai dengan massa Sultan Hamengku Buwono VII. Tari klasik gaya Yogyakarta mengalami kemajuan yang pesat pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (1912-1939), karena pada masa ini trjadi pembaruan-pembaruan dalam seni tari klasik gaya Yogyakarta. Ragam tari bertambah dan gerakan-gerakannya pun disempurnakan. Tata busana, iringan, tata pentas dan perlengkapan mengalami pembaruan yang menyeluruh. (Fred Wibowo, 2002:5)

2.      Pemahaman Filosofi
Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki landasan sikap dan gerak yang didasarkan pada orientasi menyatu, berkemauan kuat, berani dan ulet serta setia secara bertanggungjawab. Hakikat inilah yang kemudian disebut sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh. Oleh karena itu, tari klasik gaya Yogyakarta tidak begitu mudah dihayati apabila seorang penari ingin sampai pada pengalaman penjiwaannya.
Adapun makna dari landasan filosofis tari klasik gaya Yogyakarta antara lain:
a.       Sawiji
Sawiji adalah menyatukan kemauan dan sikap dengan seluruh kekuatan rohani dan pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas, dalam hal ini adalah peran dan karakter peran yang dibawakannya.
b.      Greget
Greget adalah berkemauan yang kuat, semangat yang berkobar dan mendorong suatu dinamika di dalam jiwa seorang penari. Kemauan yang kuat ini tidak boleh dilepas secara liar, tetapi harus dapat dikendalikan untuk dapat disalurkan secara wajar.
c.       Sengguh
Sengguh secara harfiah berarti kebanggaan pada diri sendiri. Dalam hal ini sengguh dimaksudkan sebagai kepercayaan diri (self-confidence). Dalam wujud lahiriah mencul sebagai keberanian. Namun keberanian tersebut bukan mengarah pada kesombingan, melainkan menumbuhkan sikap yang meyakinkan, pasti, dan tidak ragu-ragu.
d.      Ora Mingkuh
Ora mingkuh berarti ulet dan setia secara bertanggungjawab. Tidak lari menghadapi kesulitan-kesulitan dan memenuuhi apa yang sudah menjadi kesanggupannya dengan bertanggung jawab sepenuhnya.
2.      Pemahaman Filosofi
Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki landasan sikap dan gerak yang didasarkan pada orientasi menyatu, berkemauan kuat, berani dan ulet serta setia secara bertanggungjawab. Hakikat inilah yang kemudian disebut sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh. Oleh karena itu, tari klasik gaya Yogyakarta tidak begitu mudah dihayati apabila seorang penari ingin sampai pada pengalaman penjiwaannya.
Adapun makna dari landasan filosofis tari klasik gaya Yogyakarta antara lain:
a.       Sawiji
Sawiji adalah menyatukan kemauan dan sikap dengan seluruh kekuatan rohani dan pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas, dalam hal ini adalah peran dan karakter peran yang dibawakannya.
b.      Greget
Greget adalah berkemauan yang kuat, semangat yang berkobar dan mendorong suatu dinamika di dalam jiwa seorang penari. Kemauan yang kuat ini tidak boleh dilepas secara liar, tetapi harus dapat dikendalikan untuk dapat disalurkan secara wajar.
c.       Sengguh
Sengguh secara harfiah berarti kebanggaan pada diri sendiri. Dalam hal ini sengguh dimaksudkan sebagai kepercayaan diri (self-confidence). Dalam wujud lahiriah mencul sebagai keberanian. Namun keberanian tersebut bukan mengarah pada kesombingan, melainkan menumbuhkan sikap yang meyakinkan, pasti, dan tidak ragu-ragu.
d.      Ora Mingkuh
Ora mingkuh berarti ulet dan setia secara bertanggungjawab. Tidak lari menghadapi kesulitan-kesulitan dan memenuuhi apa yang sudah menjadi kesanggupannya dengan bertanggung jawab sepenuhnya. 
3.      Pemahaman, Perwatakan dan Penjiwaan
Sebelum seorang penari masuk ke pendalaman karakter tokoh atau tarian yang akan dibawakan terlebih dahulu ia harus memiliki tiga macam kepekaan irama karena untuk menari seorang penari akan diiringi oleh iringan gamelan dengan irama-irama tertentu.
a.       Kepekaan Irama Gending
Kepekaan irama gending adalah ketajaman rasa untuk dapat mengikuti irama gending secara cermat denagn tekanan pada kethuk, kenong, kempul dan gong. Kepekaan irama ini hanya mungkin tumbuh apabila seorang penari juga belajar memahami gending-gending tarian dan irama gending tarian.
b.      Kepekaan Irama Gerak
Kepekaan irama gerak adalah ketajaman rasa dalam menggerakan anggota tubuh dengan tempo yang tetap (ajeg) sehingga menghasilkan rangkaian gerak yang mengalir lancer. Kelancaran irama gerak ini member keindahan pada seluruh tarian.
c.       Kepekaan Irama Jarak
Kepekaan irama jarak adalah ketajaman rasa dalam mengambil jarak antara anggota tubuh yang digerakan. Jarak harus tetap, sesuai dengan kemungkinan keadaan anggota tubuh si penari dan menurut kemungkinan yang ditetapkan sendiri. Kekurangan-kekurangan yang tentu saja berbeda antara penari satu dan penari yang lainnya.
Perwatakan dalam tari klasik gaya Yogyakarta tercemin secara fisik dalam ragam tari yang ada. Untuk tarian dari tokoh-tokoh wayang pada dasarnya selalu mengambil perwatakan dari wayang kulit dan cerita wayang yang sebagian bersumber dari Mahabarata dan Ramayana. Sedangkan, untuk tarian lepas dasar, meskipun tokoh tersebut tidak terdapat dalam tokoh wayang tetap saja seorang penari perlu memperhatikan sumber dari tokoh tarian lepas yang dibawakannya. Misalnya tari Golek, seorang penari tari Golek perlu mengeksplorasi pemahaman akan gerak stirilisasi dari golekan (boneka wayang kayu)
Dari sumber-sumber tersebut akan diperoleh gambaran luar (bentuk, perwujudan dan gerak). Sementara gambaran dalam diperoleh melalui bentuk, wanda dan cara berbicara. Ketiga unsure tersebut merupakan unsure yang saling berhubungan.
Bentuk dapat dibagi menjadi tiga macam karakter berikut:
a.       Halus
1)      Halus Luruh
Perwujudan gerak tari yang sungguh-sungguh halus, sederhana dengan aliran gerak yang lembut dan pelan-pelan
2)      Halus Mbranyak
Perwujudan gerak tari yang halus tetapi dinamis. Wajah tegak mendatar dengan aliran gerak yang lembut, tetapi sedikit cepat.
b.      Gagah
1)      Gagah Lugu
Perwujudan gerak tari yang gagah, sederhana dan mantap. Aliran gerak mantap dan pasti dengan mencerminkan kaku (kenceng) dan sikap jiwa yang bersahaja.
2)      Gagah Kongas
Perwujudan gerak tari yang gagah tetapi menunjukkan kesombongan. Aliran gerak dinamis dengan banyak variasi gerak.
c.       Kasar
1)      Kasar Ksatria
Perwujudan gerak tari yang kasar tetapi menunjukkan ciri ksatria atau raja. Aliran gerak dinamis, mantap meskipun terasa gerakan-gerakan yang kasar.
2)      Kasar Raksasa
Perwujudan gerakan tari yang kasar sangat dinamis dan menunjukkan perwatakan yang tidak teratur. Aliran geraknya penuh dengan gerakan-gerakan yang melebar, cepat dan kasar.
Wanda adalah roman muka, bentuk dan ekspresi yang menggambarkan watak serta suasana jiwa dari karakter wayang. Di dalam wanda ini penari merujuk pada wanda dari tokoh-tokoh wayang kulit atau untuk tarian lepas harus mencari sumber-sumber yang dapat dipakai untuk mengeksplorasi wanda tersebut.
Penjiwaan dari tarian dapat dikembangkan dengan mencoba mengobservasi tari yang dibawakannya menunjuk pada tokoh wayang.Setelah observasi akan ditemukan identifikasi dari tokoh wayang yang kemudian harus dianalisis. Hasil analisis tersebut merupakan acuan untuk membangun penjiwaan dalam tarian yang dibawakan.
Dalam tari klasik gaya Yogyakarta,dua unsure pokok, yaitu teknik dan penjiwaan adalah sangat penting. Teknik adalah keterampilan tariannya yang merupakan kulit saja, sedangkan penjiwaan adalah isian filosofis yang merupakan sukma dari tarian.

Tari Golek Kudupsari merupakan tari klasik putri alus gaya Yogyakarta. Tari ini menggambarkan gadis-gadis remaja yang sedang merias diri atau mempercantik diri. Tari ini ada dua versi yaitu tari Kudupsari atau nama lainnya tari Surung Dayung yaitu gaya Yogyakarta, sedangkan untuk gaya Surakartanya adalah tari Golek Sulung Dayung. Keduanya memiliki persamaan gerak, namun ada yang membedakannya yaitu ciri khas ragam gerak, unsur gerak dan gaya busananya.

1. Sila Panggung.

Posisi duduk sila dengan kaki sedikit diangkat (tidak menempel tanah). Tangan Diawali dengan posisi ngithing, kemudian tangan kiri merapikan sampur ke depan dengan tangan kanan tetap ngithing di atas pahadan tolehan ke arah sampur yang sedang dirapikan, dilanjutkan dengan tangan kanan merapikan sampur ke depan dengan tangan kiri ngiting di atas paha dan tolehan ke arah sampur yang sedang dirapikan, kemudian kedua tangan merapikan sampur secara bersama-sama. Selanjutnya merapikan jarit dengan kedua tangan sehingga kaki tertutup oleh jarit, kemudian setelah itu kedua tangan didekatkan dengan keadaan tertelungkup diletakkan di atas jarit di antara kedua lutut dengan siku ditekuk ke dalam. Pandangan tetap ke arah depan.










2. Kicat Ridhong Sampur.

Hitungan 3 x 8, berjalan ke samping kiri dengan tangan kiri ridhong sampur ditekuk ke arah depan dan kanan kanan mentang sambil miwir sampur, pandangan ke arah tangan kanan. Hitungan 2 x 8, berjalan ke samping kanan dengan tangan kanan ridhong sampur ditekuk ke arah depan dan tangan kiri mentang sambil miwir sampur, pandangan ke arah tangan kiri. Hitungan 2 x 8, kedua tangan ridhong ke arah depan, kaki kicat ditempat kemudian maju.

















(sumber: rizkyputriseptihandini.bogspot.com)



Comments

Popular Posts